IMPLEMENTASI HADIS DHOIF DALAM MASALAH FADHŌILUL A’MĀL MENURUT PANDANGAN ULAMA HADITS
Muhammad Yusriel Amien
BAB I
PENDAHULUAN
-
- Latar Belakang
Dakwah Islam di Indonesia berkembang dengan cepat. Berbagai sarana dakwah tersebar di mana-mana, seperti: pondok pesantren, madrasah diniah, majelis taklim, dan lain sebagainya. Hal itulah yang membuat para dai dengan mudah menyebarluaskan dakwahnya.
Dalam menyampaikan dakwah Islam kepada masyarakat terdapat berbagai metode yang bervariatif. Untuk kalangan intelektual dan para cendikia, dakwah Islam biasanya disampaikan melalui seminar-seminar serta diskusi yang bersifat ilmiah. Adapun kalangan orang awam dakwah Islam biasanya disampaikan melalui ceramah-ceramah di masjid.
Para dai yang menyampaikan dakwahnya di kalangan masyarakat awam biasanya menyesuaikan keadaan serta budaya mereka. Akan tetapi tidak semua budaya yang tersebar di masyarakat sesuai dengan syariat Islam, bahkan tidak sedikit dari budaya yang didalamnya terdapat unsur kesyirikan.
Diantara budaya yang tidak sesuai dengan syariat Islam adalah: mengirimkan sesajen ke laut dan kuburan, meminta syafa’at (pertolongan) kepada wali yang sudah meninggal, dan lain sebagainya. Tetapi masyarakat awam pada umumnya sangat menyukai bahkan bersemangat dalam melakukan ritual-ritual tersebut yang sejatinya sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Mereka beranggapan bahwa amalan-amalan itu memiliki keutamaan yang luar biasa, yang mana dengan melakukannya akan mendapatkan pahala yang banyak. Hal itulah yang mendorong sebagian dai untuk menyampaikan hadis-hadis yang berkaitan dengan fadhōilul a’māl yaitu hadis tentang keutamaan suatu amalan.
Akan tetapi tidak sedikit hadis yang membahas tentang keutamaan suatu amalan merupakan hadis dhoif. Oleh karena itu makalah ini akan menjelaskan bagaimana sikap serta pandangan ulama hadis tentang berhujah dengan hadis dhoif dalam masalah fadhōilul a’māl.
1.2 Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah dijelaskan di latar belakang, pembahasan ini dapat diklarifikasikan ke dalam beberapa rumusan masalah, diantaranya:
- Apa definisi hadis dhoif dan fadhōilul a’māl?
- Bagaimana pandangan ulama hadis tentang berhujah dengan hadis dhoif dalam masalah fadhōilul a’māl?
- Apa contoh hadis dhoif dalam masalah fadhōilul a’māl yang tersebar di masyarakat?
- Tujuan
Tulisan ini berusaha untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan: definisi hadis dhoif dan fadhōilul a’māl, pandangan ulama hadis tentang berhujah dengan hadis dhoif dalam masalah fadhōilul a’māl, dan contoh hadis dhoif dalam masalah Fadhōilul a’māl yang tersebar di masyarakat.
1.4 Manfaat
Dengan makalah ini para dai khususnya dan masyarakat pada umumnya dapat mengetahui bagaimana pandangan ulama hadis tentang berhujah dengan hadis dhoif dalam masalah fadhōilul a’māl.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Istilah
Dalam membahas suatu masalah tentu terdapat istilah yang perlu dijelsakan agar dapat memahami pokok bahasan dari masalah tersebut, oleh karena itu dalam bab ini akan dijelaskan beberapa istilah yang terkait dengan makalah ini.
2.1.1 Hadis Dhoif
Salah satu ulama hadis yang masyhur yaitu Imam Ibnu Hajar al-Asqolani -semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat kepadanya- telah memberikan definisi hadis dhoif, yaitu:
حَدِيْثٌ لَمْ تَجْتَمِعْ فِيْهِ صِفَاتُ القَبُوْلِ.
Maksudnya adalah hadis yang tidak terdapat didalamnya sifat-sifat diterimanya suatu hadis[1].
Diterimanya suatu hadis apabila memiliki sifat-sifat berikut[2].
- Memiliki sanad yang bersambung.
Ulama hadis telah memberikan definisi untuk sanad, yaitu:
سِلْسِلَةُ الرِّجَالِ الموْصِلَةُ لِلمَتْنِ.
“Rangkaian orang yang menghubungkan sampai ke matan (isi hadis)[3].” Maksudnya adalah rangkaian rowi yang meriwayatkan hadis.
- Diriwayatkan oleh rowi-rowi yang عادل (‘adil) atau yang bersifat عدالة (‘adālah)
Di dalam ilmu hadis عدالة (‘adālah) bermakna:
مَلَكَةٌ تَحْمِلُ عَلَى مُلَازَمَةِ التَّقْوَى وَالمرُوْءَةِ مَعًا حَتَّى تَحْصُلَ ثِقَةَ النُّفُوْسِ بِصِدْقِ الرَّاوِي.
“Suatu kemampuan yang membawa kepada keharusan untuk bertakwa dan berwibawa secara bersamaan sehingga (dengan kemampuan itu) akan menghasilkan jiwa yang terpercaya dengan sebab jujurnya seorang rowi[4].”
- Diriwayatkan oleh rowi-rowi yang mempunyai hafalan yang kuat.
- Tidak ada hadis atau riwayat lain yang menyelisihinya.
- Tidak ada cacat yang parah didalamya.
Di dalam ilmu hadis yang termasuk cacat yang parah adalah apabila seorang rowi itu fasik (pelaku maksiat dan dosa), pendusta, memiliki hafalan yang sangat lemah, dan yang semisalnya dari sebab-sebab dhoifnya suatu hadis[5].
2.1.2 Fadhōilul A’māl
Secara definisi fadhōilul a’māl adalah amal-amal ibadah yang memiliki keutamaan.
2.2 Pandangan Ulama Hadis tentang Berhujah dengan Hadis Dhoif dalam Masalah Fadhōilul A’māl
Ulama hadis berbeda pendapat tentang bolehnya berhujah dengan hadis dhoif dalam masalah fadhōilul a’māl[6]. Secara umum ada ulama yang membolehkan untuk berhujah dengan hadis dhoif dalam masalah fadhōilul a’māl dan ada pula yang tidak membolehkannya.
Ulama yang membolehkan berhujah dengan hadis dhoif dalam masalah fadhōilul a’māl diantaranya: Sufyan ats-Tsauri, Abdulloh Ibnu Mubarok, Abdurrohman Ibnu Mahdi, dan beberapa ulama yang lain. Alasan mereka membolehkan untuk mengamalkannya adalah karena sesungguhnya hadis dhoif itu apabila ternyata sahih, maka layak untuk diamalkan. Akan tetapi apabila tidak demikian (memang benar-benar dhoif), maka walaupun diamalkan tidak akan menyebabkan mafsadah dalam penghalalan dan pengharaman syariat, dan juga tidak akan merugikan hak orang lain.
Mereka juga memberikan syarat dalam mengamalkan hadis dhoif yang berkaitan dengan fadhōilul a’māl, diantaranya adalah:
- Dhoifnya hadis itu tidak terlalu parah.
- Tidak menetapkan kesahihan hadis itu ketika mengamalkannya.
- Hadis itu tidak menyelisihi hadis yang sahih.
Ulama yang tidak membolehkan untuk berhujah dengan hadis dhoif dalam masalah fadhōilul a’māl, diantaranya adalah: Yahya Ibnu Ma’in, Imam Bukhori, Imam Muslim, dan beberapa ulama yang lain. Alasan mereka tidak membolehkan untuk mengamalkannya adalah karena sesungguhnya hadis dhoif itu hanya merupakan prasangka yang lemah. Allah Ta’ala berfirman:
{وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّاۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِى مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا…}.
“Dan tidaklah kebanyakan dari mereka mengikuti kecuali prasangka, sesungguhnya prasangka itu tidak mencukupkan dari kebaikan sedikitpun.” (QS. Yunus: 36).
Dari dua pendapat tersebut pendapat kedua adalah yang lebih kuat yaitu tidak diperbolehkannya berhujah dengan hadis dhoif dalam masalah fadhōilul a’māl dengan beberapa alasan berikut.
- Ulama hadis telah bersepakat dalam menamakan hadis dhoif dengan istilah mardūd (yaitu hadis yang tertolah atau tidak dapat dijadikan sebagai hujah).
- Hadis dhoif itu sejatinya hanya merupakan prasangka semata, sedangkan prasangka itu tidaklah mencukupkan dari kebaikan sedikitpun.
- Ketika dibolehkan beramal dengan hadis dhoif, maka hadis-hadis yang sejatinya sahih akan terabaikan, bahkan tidak lagi diamalkan karena telah merasa cukup dengan mengamalkan hadis dhoif itu.
- Tidak sedikit dari hadis dhoif yang didalamnya mengandung hal-hal yang dilarang oleh syariat, seperti: Bid’ah, khurafat, dan lain sebagainya yang menjauhkan dari manhaj yang benar.
2.3 Contoh Hadis Dhoif dalam Masalah Fadhōilul A’māl yang Tersebar di Masyarakat
Sebagian masyarakat memiliki semangat yang luar biasa dalam beribadah. Hal itu dikarenakan banyak hadis fadhōilul a’māl yang tersebar di kalangan mereka. Akan tetapi tidak semua hadis yang tersebar itu sahih. Banyak juga hadis yang dhoif, diantaranya adalah:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ.
“Barangsiapa yang telah mengenal dirinya, maka sungguh dia telah mengenal Rabbnya[7].”
Banyak ulama hadis yang memberikan komentar tentang riwayat tersebut, diantaranya adalah[8]:
- قَالَ أَبُوْ المظَفَّر بنُ السَّمْعَانِيْ: “لَا يَعْرِفُ مَرْفُوْعًا، وَإِنَّمَا يُحْكَى عَنْ يَحْيَ بْنِ مُعَاذٍ الرَّازِيْ مِنْ قَوْلِهِ.” وَكَذَا قَالَ النَّوَوِي: إِنَّهُ لَيْسَ بِثَابِتٍ.”
- وَنَقَلَ السُّيُوْطِيْ فِيْ «ذَيْل الموْضُوْعَات» (ص: 203) كَلاَمَ النَّوَوِي هٰذَا، وَأَقَرَّهُ، وَقَالَ فِيْ «القَوْل الأَشْبَه» (2/351) مِنْ «الحَاوِي لِلْفَتَاوَى»: “هٰذَا الحَدِيْثُ لَيْسَ بِصَحِيْحٍ.”
- وَقَالَ العَلاَّمَةُ الفَيْرُوزَابَادِي -صَاحِبُ «القَامُوْس»- فِيْ «الرَّد عَلَى المعْتَرِضِيْنَ عَلَى الشَّيْخِ ابنِ عَرَبِيٍّ»: “لَيْسَ مِنَ الأَحَادِيْثِ النَّبَوِيَّةِ، عَلَى أَنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ يَجْعَلُوْنَهُ حَدِيْثًا عَنِ النَّبِيِّ ﷺ، وَلَا يَصِحُّ أَصْلًا، وَإِنَّمَا يُرْوَى فِيْ (الإسْرَائِيْلِيَات): يَا ِإنْسَان! اِعْرِفْ نَفْسَكْ؛ تَعْرِفُ رَبَّكْ.”
- Abu Muzhofar Ibnu as-Sam’aniy telah berkata: “(Hadis itu) tidak diketahui sebagai hadis marfu’ (yaitu hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad ﷺ), dan sesungguhnya (hadis tersebut) diceritakan dari Yahya Ibnu Mu’adz ar-Razi yang merupakan ucapannya. Begitu pula Imam an-Nawawi, beliau berkata: “Sesungguhnya hadis itu bukanlah hadis yang tsabit” (benar keberadaanya).”
- Imam as-Suyuthi telah menukil dari kitab (Dzailul Maudhuat halaman 203) perkataan Imam an-Nawawi, beliau pun telah menetapkan (keaslian)nya (perkataan itu), dan Imam as-Suyuthi juga berkata dalam kitab (al-Qoulul Asybah jilid 2 halaman 351) yang dinukil dari kitab (al-Hawi Lilfatawa): “Hadis ini (yang telah disebutkan di atas) tidaklah sahih.”
- Salah seorang ulama yang bernama al-Fairuzabidiy (penulis kitab al-Qomus) telah berkata dalam kitab (ar-Rad ‘Alal Mu’taridhin ‘Ala Syaikh Ibnu ‘Arabi): “(Hadis itu) bukanlah merupakan hadis Rasululloh ﷺ, hanya saja banyak orang yang menjadikannya sebagai hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan hal itu sangatlah tidak benar, sesungguhnya (hadis tersebut) merupakan riwayat israiliyat (riwayat yang berasal dari bani israil) yaitu: “Wahai manusia kenalilah dirimu, maka engkau akan mengenal Rabmu”.”
3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulan bahwa:
- Definisi istilah yang mencakup dua aspek yaitu:
- Hadis dhoif adalah hadis yang tidak terdapat didalamnya sifat-sifat diterimanya suatu hadis.
- Fadhōilul a’māl adalah amal-amal ibadah yang memiliki keutamaan.
- Pandangan ulama hadis tentang berhujah dengan hadis dhoif dalam masalah fadhōilul a’māl.
Secara umum ada ulama yang membolehkan untuk berhujah dengan hadis dhoif dalam masalah fadhōilul a’māl dan ada pula yang tidak membolehkannya.
Dari dua pendapat tersebut pendapat kedua adalah yang lebih kuat yaitu tidak diperbolehkannya berhujah dengan hadis dhoif dalam masalah fadhōilul a’māl dengan beberapa alasan berikut.
- Ulama hadis telah bersepakat dalam menamakan hadis dhoif dengan istilah mardūd (yaitu hadis yang tertolah atau tidak dapat dijadikan sebagai hujah).
- Hadis dhoif itu sejatinya hanya merupakan prasangka semata, sedangkan prasangka itu tidaklah mencukupkan dari kebaikan sedikitpun.
- Ketika dibolehkan beramal dengan hadis dhoif, maka hadis-hadis yang sejatinya sahih akan terabaikan, bahkan tidak lagi diamalkan karena telah merasa cukup dengan mengamalkan hadis dhoif itu.
- Tidak sedikit dari hadis dhoif yang didalamnya mengandung hal-hal yang dilarang oleh syariat, seperti: Bid’ah, khurafat, dan lain sebagainya yang menjauhkan dari manhaj yang benar.
- Contoh hadis dhoif dalam masalah fadhōilul a’māl yang tersebar di masyarakat adalah:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ.
“Barangsiapa yang telah mengenal dirinya, maka sungguh dia telah mengenal Rabbnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Al-Karim
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, “Silsilah al-Ahadis adh-Dhoifah Wa al-Maudhuah” Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1420 H.
Al-Khudhoir, ‘Abdul Karim Ibnu ‘Abdillah, “Al-Hadis adh-Dho’if Wa Hukmu al-Ihtijaj Bihi” Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, 1435 H.
As-Suyuthi, Jalaludin ‘Abdurrahman, “Tadrib ar-Rowi Fi Syarhi Taqrib an-Nawawi” Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2009.
Ath-Thohan, Mahmud, “Taisir Mustholah al-Hadis” Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1432 H.
-
Al-Khudhoir, ‘Abdul Karim Ibnu ‘Abdillah, “Al-Hadis adh-Dho’if Wa Hukmu al-Ihtijaj Bihi” (Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, 1435 H) cet 6, hlm. 60. ↑
-
Ibid, hlm. 56. ↑
-
Ath-Thohan, Mahmud, “Taisir Mustholah al-Hadis” (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1432 H) cet 11, hlm. 18. ↑
-
Al-Khudhoir, ‘Abdul Karim Ibnu ‘Abdillah, “Al-Hadis adh-Dho’if Wa Hukmu al-Ihtijaj Bihi” hlm. 121. ↑
-
As-Suyuthi, Jalaludin ‘Abdurrahman, “Tadrib ar-Rowi Fi Syarhi Taqrib an-Nawawi” (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2009) cet 1, hlm. 191. ↑
-
Al-Khudhoir, ‘Abdul Karim Ibnu ‘Abdillah, “Al-Hadis adh-Dho’if Wa Hukmu al-Ihtijaj Bihi” hlm. 249. ↑
-
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, “Silsilah al-Ahadis adh-Dhoifah Wa al-Maudhuah” (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1420 H) cet 2, hlm. 165. ↑
-
Ibid. ↑