PENANGANAN PERILAKU BERMASALAH REMAJA MENGGUNAKAN SISTEM REWARD DAN PUNISHMENT

  1. Pendahuluan

Masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Sebelum mencapai masa remaja, individu telah mengalami serangkaian perkembangan dan memperoleh banyak pengalaman (Santrock, 2007). Perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja mempengaruhi perkembangannya, khususnya dalam pencarian identitas diri. Remaja berupaya untuk merumuskan siapa dirinya dan apa tujuan hidupnya (Sumargi & Kristi, 2017). Berdasarkan teori perkembangan Erikson (dalam Santrock, 2012), remaja secara aktif mencoba berbagai peran dan mengeksplorasi berbagai nilai, minat, dan ideologi. Saat bereksplorasi, remaja dapat melakukan pelanggaran atau menunjukkan perilaku bermasalah, seperti membolos, melawan figur otoritas, perkelahian antar remaja, perundungan, sampai upaya bunuh diri. Apabila kondisi pada remaja ini dibiarkan dan tidak segera ditangani, perilaku bermasalah dapat meningkat menjadi kenakalan remaja yang serius seperti kriminalitas (Sumargi & Kristi, 2017).

Salah satu hal yang paling penting dalam proses belajar mengajar adalah lingkungan pembelajaran yang tidak hanya memusatkan pada kualitas kurikulum tetapi juga menyediakan situasi yang aman, terprediksi, konsisten, dan suportif. Perilaku bermasalahan pada remaja seperti agresi, ketidakpatuhan, ancaman, ejekan, penarikan diri, dan perundungan adalah hambatan dalam membentuk lingkungan pembelajaran yang efektif. Perilaku bermasalah tidak hanya menghalangi proses belajar siswa yang bersangkutan tetapi juga dapat mempengaruhi pembelajaran siswa lain, serta merupakan salah satu alasan yang sering muncul dari tenaga pendidik ketika mengundurkan diri dari posisinya. Di masa lalu, sekolah cenderung mengandalkan sistem hukuman terhadap perilaku bermasalah atau mengeluarkan siswa yang menunjukkan perilaku bermasalah (Horner & Macaya, 2018).

Disiplin adalah bentuk rasa patuh pada aturan yang berlaku dalam lingkungan (Hurlock dalam Haqq, 2019). Manfaat disiplin meliputi penataan kehidupan bersama, melatih kepribadian, pemaksaan (akibat adanya kesadaran diri), timbulnya hukuman untuk mengendalikan perilaku siswa, serta terciptanya lingkungan yang kondusif untuk aktivitas belajar-mengajar (Tulus dalam Haqq, 2019). Disiplin berbeda dengan hukuman, Mabeba dan Prinsloo (dalam Chonco, 2019) menyebutkan bahwa disiplin merujuk pada pembelajaran, pengaturan, pemanduan, dan keteraturan, sehingga penegakan disiplin lebih memusatkan pada adanya keteraturan dan pembimbingan yang bersifat suportif. Karena itu tujuan dari disiplin harus bersifat konstruktif dan bukan destruktif, mendidik dan bukan menghukum. Tujuan dari disiplin seharusnya adalah mendidik dan memupuk nilai-nilai toleransi, rasa hormat, dan pengaturan diri pada siswa. Banyak strategi telah diterapkan untuk memunculkan kedisiplinan di sekolah, diantaranya tentang ketegasan yang mengikat dalam penerapan disiplin. Penelitian menunjukkan bahwa strategi-strategi ini kurang optimal dan dapat menimbulkan masalah lain (Lassen, Steele, & Sailor dalam Haqq, 2019). Salah satu alternatif penegakan disiplin pada siswa adalah dengan memberikan penguatan positif berupa reward. Penguatan memiliki tiga peranan penting dalam mengajar siswa berperilaku disiplin, yaitu sebagai alat untuk mendidik, sebagai motivasi untuk mendukung tumbuhnya perilaku positif, dan sebagai pembentuk perilaku sosial yang sehat (Haqq, 2019).

  1. Pengertian Perilaku Bermasalah pada Remaja

Sarwono (2019) menyebutkan bahwa semua perilaku yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam masyarakat (norma agama, etika, peraturan sekolah, keluarga, dan lain-lain) dapat disebut sebagai perilaku bermasalah atau perilaku menyimpang. Ketika perilaku bermasalah tersebut terjadi terhadap norma-norma hukum pidana yang berlaku, barulah disebut kenakalan (delinquency).

Menurut Jessor dan Jessor (dalam Sumargi & Kristi, 2017), perilaku bermasalah adalah perilaku yang mengganggu secara sosial, yang memprihatinkan, atau yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku, dan biasanya kemunculannya menimbulkan semacam respons kontrol sosial. Goodman (dalam Sumargi & Kristi, 2017) mengkategorikan perilaku bermasalah menjadi dua bentuk, yakni externalizing dan internalizing. Externalizing problems meliputi hiperaktivitas seperti gelisah dan sulit fokus, dan masalah perilaku (conduct problem) seperti berkelahi dan berbohong. Sementara itu, internalizing problems meliputi masalah emosi seperti gelisah dan takut, dan masalah dengan teman sebaya seperti cenderung menyendiri dan mengalami perundungan (bullying).

  1. Penyebab Perilaku Bermasalah pada Remaja

Perilaku bermasalah pada remaja dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, baik yang berasal dari remaja itu sendiri (internal) maupun yang berasal dari lingkungan sekitarnya (eksternal):

  1. Faktor Internal
  • Krisis identitas

Erikson (dalam Santrock, 2012) mengungkapkan bahwa tahap yang dialami individu pada masa remaja disebut dengan tahap identitas versus kebingungan identitas. Pada masa ini merupakan masa kesenjangan antara keamanan dari masa kanak-kanak dan otonomi dari masa dewasa. Pada periode ini, masyarakat cenderung membiarkan remaja bebas dari tanggung jawab dan bebas mencoba berbagai identitas termasuk diantaranya bereksperimen dengan berbagai peran maupun kepribadian. Pada proses eksperimen inilah perilaku-perilaku bermasalah rentan untuk terjadi.

  • Kontrol diri yang lemah

Kontol diri menurut Goldfried dan Merbaum (dalam Risnawati, 2010) adalah suatu kemampuan untuk menyusun, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif. Kurangnya kontrol diri membuat individu kurang mampu untuk mengarahkan perilakunya sehingga perilaku akan menjurus ke arah yang bermasalah.

  1. Faktor Eksternal
  • Sistem dukungan keluarga yang lemah

Keluarga merupakan lingkungan terdekat dalam kehidupan anak yang dapat menjadi pemicu munculnya perilaku bermasalah seperti agresi melalui pola interaksi negatif antara orang tua dengan anak (Patterson dalam Sumargi & Kristi, 2017). Penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak dengan perilaku antisosial cenderung kurang terlibat dan kurang memberikan bimbingan kepada anak pada awal masa remaja dan kondisi ini berlanjut hingga masa remaja akhir di mana anak mulai terlibat dengan teman sebaya yang perilakunya bermasalah (Dishion, Nelson, & Bullock dalam Sumargi & Kristi, 2017).

  • Lingkungan sosial yang buruk

Meskipun perilaku bermasalah bukan gejala yang hanya dijumpai pada remaja yang berasal dari status sosial-ekonomi rendah, namun terdapat beberapa karakteristik budaya kelas sosial rendah yang mendukung terjadinya perilaku-perilaku menyimpang (Santrock, 2012).

  • Tekanan dari teman sebaya

Remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk disukai dan diterima kawan sebaya atau kelompok. Sebagai akibatnya mereka akan senang apabila diterima dan sebaliknya akan merasa tertekan dan cemas apabila dikeluarkan dan diremehan oleh kawan-kawan sebayanya. Tekanan untuk mengikuti teman sebaya atau yang disebut konformitas (conformity) pada masa remaja sangat kuat. Konformitas muncul ketika individu meniru sikap, atau tingkah laku orang lain dikarenakan ada tekanan nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka. Konformitas dengan tekanan teman-teman sebaya pada masa remaja dapat bersifat positif maupun negatif. Umumnya remaja terlibat dalam semua bentuk perilaku konformitas yang negatif, seperti menggunakan bahasa yang kasar, mencuri, merusak, dan mengolok-olok orangtua dan guru (Diananda, 2018).

  • Karakteristik gender

Teori male phenomenon menyebutkan bahwa anak laki-laki cenderung lebih banyak menunjukkan perilaku bermasalah karena adanya stereotip bahwa kenakalan memang adalah sifat laki-laki atau karena budaya maskulinitas menyatakan bahwa wajar apabila laki-laki nakal (Sarwono, 2019).

  1. Menangani Perilaku Bermasalah menurut Teori Behavioral

Perilaku adalah segala sesuatu yang dilakukan atau dikatakan seseorang. Perilaku bukan merupakan karakteristik seseorang yang bersifat statis. Apabila seseorang dikatakan ‘marah’, maka itu tidak menggambarkan perilaku orang tersebut melainkan hanya merupakan label. Apabila tindakan dan ucapan seseorang yang sedang marah dapat diidentifikasi, maka tindakan dan ucapan tersebut merupakan perilaku. Contohnya: “Budi membentak ibunya, kemudian berlari ke kamarnya, dan membanting pintu kamarnya.” Ini merupakan deskripsi perilaku yang dapat diberi label ‘marah’. Perilaku selalu dapat diobservasi, dicatat, dan direkam baik oleh pengamat maupun oleh individu yang melakukan.Perilaku terjadi karena pengaruh dari situasi-situasi atau kejadian-kejadian di lingkungan, serta memiliki dampak pada lingkungan (Miltenberger, 2012).

Teori perkembangan berdasarkan sudut pandang perilaku dan kognitif menyebutkan bahwa perilaku terbentuk karena adanya proses pengkondisian (conditioning) atau melalui proses pembelajaran observasional yang disebut dengan imitasi atau meniru (modelling). Pada proses pengkondisian menurut Skinner (dalam Santrock, 2012), perilaku yang diikuti dengan penghargaan akan meningkatkan kecenderungan munculnya perilaku tersebut, sedangkan perilaku yang diikuti dengan hukuman akan mengurangi kecenderungan munculnya perilaku tersebut. Pada proses pembelajaran observasional dengan imitasi atau meniru menurut Bandura (dalam Santrock, 2012), individu akan mengamati dan mengulang kembali hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang lain, misalnya anak yang meniru perilaku orang tuanya atau perilaku selebritis yang diamatinya di media sosial.

Pada penanganan perilaku bermasalah dari sudut pandang teori behavioral atau perilaku, perilaku tersebut sebelumnya harus dianalisis dengan menggunakan asesmen fungsional. Tujuan dari asesmen fungsional adalah utuk mengumpulkan informasi secara sistematis tentang anteseden (A) atau situasi yang mendahului atau mendorong terjadinya sebuah perilaku, dimensi dari perilaku itu sendiri (B), dan konsekuensi (C) yang merupakan dampak atau situasi yang mengikuti perilaku yang terjadi. Asesmen fungsional ini biasa disebut dengan Model ABC (Corey, 2013).

Modifikasi perilaku adalah cabang psikologi yang berpusat pada analisis dan modifikasi dari perilaku manusia. Analisis berarti mengidentifikasi hubungan fungsional antara situasi-situasi di lingkungan dan perilaku tertentu yang terjadi untuk memahami alasan terjadinya suatu perilaku atau untuk menentukan mengapa seseorang melakukan perilaku tertentu. Modifikasi berarti mengembangkan dan mengimplementasikan prosedur untuk membantu seseorang dalam mengubah perilaku mereka. Perilaku manusia dikendalikan oleh situasi lingkungan langsungnya, sehingga untuk mengubah perilaku, variabel-variabel pengontrol di lingkungan ini perlu diidentifikasi dan diubah (Miltenberger, 2012).

  1. Pengertian Sistem Reward dan Punishment

Sistem reward dan punishment merupakan salah satu teknik modifikasi perilaku (Miltenberger, 2012). Reward (hadiah) didasarkan pada salah satu prinsip dasar teori behavioral yaitu reinforcement (penguatan). Penguatan adalah suatu proses dimana sebuah perilaku dikuatkan dengan pemberian konsekuensi langsung yang selalu mengikuti kejadiannya. Ketika sebuah perilaku diperkuat, maka perilaku tersebut akan memungkinkan untuk diulang kembali di masa mendatang. Hadiah merupakan satu bentuk penguatan positif. Penguatan positif didefinisikan sebagai berikut:

  1. Perilaku terjadi
  2. Diikuti dengan diberikannya stimulus penguat dalam bentuk hadiah
  3. Tujuannya agar perilaku akan diulang di masa mendatang untuk mendapatkan hadiah.

Punishment (hukuman) merupakan salah satu prinsip dasar lain dalam teori behavioral. Hukuman adalah suatu proses dimana sebuah perilaku dilemahkan dengan konsekuensi langsung yang selalu mengikuti kejadiannya. Ketika sebuah perilaku dihukum, maka perilaku tersebut akan memungkinkan untuk tidak diulang kembali di masa mendatang. Hukuman didefinisikan sebagai berikut:

  1. Perilaku terjadi
  2. Diikuti dengan diberikannya konsekuensi dalam bentuk hukuman
  3. Tujuannya agar perilaku tidak akan diulang (dilemahkan) di masa mendatang untuk menghindari hukuman.

Ada berbagai bentuk hadiah dan hukuman yang dapat diberikan dalam penerapan sistem reward dan punishment. Bentuk pemberian reward diantaranya adalah: (1) secara verbal, misalnya dalam bentuk pemberian semangat, pujian, dukungan, dorongan dan pengakuan; (2) secara non-verbal, misalnya dengan gestur tubuh seperti acungan jempol dan tepuk tangan atau dengan memberikan perhatian; dan (3) secara materi, misalnya dengan pemberian nilai atau poin, pemberian hadiah berupa benda, atau pemberian hak istimewa. Sedangka bentuk pemberian punishment diantaranya adalah: (1) secara verbal, misalnya dalam bentuk teguran lisan; dan (2) secara materi, misalnya dalam bentuk pemberian poin hukuman, tugas tambahan, atau pencabutan hak.

  1. Tahap-Tahap Penerapan Sistem Reward dan Punishment

Berdasarkan landasan teori yang telah disebutkan di atas, makan tahap-tahap dalam penerapan sistem reward dan punishment untuk menangani perilaku permasalah adalah sebagai berikut:

  1. Mendeteksi dan menetapkan perilaku yang tidak diinginkan dan/atau perilaku yang diinginkan.
  2. Mencatat perilaku yang menjadi target. Misalnya: perilaku tidur pada saat pelajaran.
  3. Menentukan anteseden, yaitu situasi atau peristiwa di lingkungan yang mendahului atau mendorong munculnya perilaku target.
  4. Menentukan baseline atau dimensi dari perilaku target sebelum diberikan intervensi atau perlakuan. Dimensi dari perilaku target dapat diukur diantaranya dalam bentuk frekuensi (seberapa sering perilaku target terjadi), durasi (berapa lama waktu terjadinya setiap perilaku target), intensitas (seberapa kuat perilaku target), atau latensi (seberapa cepat munculnya perilaku target mengikuti antesedennya).
  5. Menentukan hadiah atau hukuman yang akan menjadi konsekuensi dari perilaku target.
  6. Mengaplikasikan hadiah atau hukuman dengan prinsip:
  7. Mengukur perubahan yang terjadi pada dimensi perilaku target.
  8. Menghentikan pemberian hadiah ketika perilaku yang diinginkan sudah terbiasa dilakukan atau menghentikan pemberian hukuman ketika perilaku yang tidak diinginkan sudah tidak dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Chonco, D.S. (2019). The Effects of Alternatives to Corporal Punishment to Maintain Learner Discipline in Secondary Schools in King Cetshwayo District. South Africa: University of Zululand

Corey, G. (2013). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (9th Edition). USA: Brooks/Cole, Cengage Learning

Diananda, A. (2018). Psikologi Remaja dan Permasalahannya. Istighna, 1(1)

Haqq, Y. A. (2019). Penguatan positif sebagai upaya menumbuhkan perilaku disiplin pada siswa sekolah dasar. Cognicia, 7, (2), 192-201

Horner, R.H. & Macaya, M.M. (2018). A Framework for Building Safe and Effective School Environments: Positive Behavioral Interventions and Supports (PBIS). Pedagogická orientace, 2018, 28(4), 663–685

Miltenberger, R.G. (2012). Behavior Modification (Fifth Edition). USA: Wadsworth, Cengage Learning

Santrock, J.W. (2011). Life-Span Development: Perkembangan Masa-Hidup (Edisi 13, Jilid 1). Jakarta: Penerbit Erlangga

Santrock, J.W. (2007). Remaja (Edisi 11, Jilid 1). Jakarta: Penerbit Erlangga

Sarwono, S.W. (2019). Psikologi Remaja. Depok: Rajawali Pers

Sumargi, A.M. & Kristi, A.N. (2017). Well-Being Orang Tua, Pengasuhan Otoritatif, dan Perilaku Bermasalah Pada Remaja. Jurnal Psikologi, 44(3), 185-197

Leave a Reply